Saya sedang asik mengedit sebuah tulisan ketika pesan whatsapp masuk ke ponsel saya. Pesan dari seorang teman yang ternyata sudah menunggu pandangan saya terhadap kondisi negara yang tengah banyak becanda. Dia minta saya untuk membubuhkannya dalam sebuah ketikan, maka sayapun menulis. (Udah kaya pengamat politik aja)
Sudah berapa lama ya saya tidak menulis soal politik. Lupa. Sudah
lama sekali. Dulu, saat masih jadi mahasiswa, beberapa kali saya coba salurkan
bebalnya otak saya dalam sebuah ketikan. Ada yang saya lempar ke media kampus
ada juga yang hanya jadi arsip pribadi. Intinya dunia politik bagi saya selalu
menarik. Dan hari ini, Politik di Indonesia bukan sekedar menarik tapi saya
rasa sudah penuh intrik
Pasalnya sederhana, DPR secara kilat membuat berbagai revisi
undang-undang yang menuai polemik. Dari mulai UU Pertanahan sampai Minerba.
Tapi yang paling mengusik adalah RUU KUHP dan RUU KPK. Saya tidak mau terlalu
jauh membahas RUU KUHP yang banyak becandanya. Saya mau bahas KPK. Boleh ya?
Gini, KPK ini adalah lembaga paling dicintai sama rakyat.
Lembaga paling dipercaya sama rakyat. Alasannya? kerja dia keliatan. Banyak
orang-orang korup yang diciduk. Orang-orang ini sudah membuat rugi rakyat
Indonesia. Dari mulai Pengacara, Anggota Dewan sampai Menteri semua tertangkap.
Bukan, orang Indonesia tidak bersorai atas ditangkapnya koruptor. Orang
Indonesia bergembira karena uangnya tidak jadi dicolong. Kebetulan yang ambil uang itu ada dari banyak profesi dan
anggota dewan adalah salah satu yang paling banyak kena tangkap
Menariknya adalah, sebulan sebelum anggota legislatif ini
purna tugas. Mereka mengebut RUU KPK. Kenapa harus dikebut? kenapa harus
terburu-buru? Bukannya terburu-buru itu adalah perbuatan setan? Itu yang jadi
tanda tanya besar. Lima tahun lalu sebelum Jokowi bertahta, sisa tugas DPR
periode saat itu ngebut merampungkan RUU MD3 yang jelas-jelas politis. Karena history itu, wajar jika banyak yang menganggap RUU KPK pun bermuatan politis. Walau saya
yakin kalau ada politisi yang baca tulisan ini pasti menentang cocoklogi saya
soal RUU MD3 dan RUU KPK.
Kebiasaan menunda pekerjaan adalah kebiasaan yang tidak
baik. Jika DPR tau RUU KPK itu mendesak dan memang urgent untuk disahkan, mestinya mereka melakukan kajian sejak
jauh-jauh hari. Kalau kemudian pernyataan saya barusan ditentang dengan jawaban
“kami sudah melakukan kajian bertahun-tahun” pertanyaannya kemudian kenapa
hasil dari RUU KPK justru kontroversi. Kalau memang betul dikaji, dilibatkan
banyak pihak dalam proses pengkajian, tentu hasilnya tidak berakhir
kontroversial. Kalaupun ada kontroversi, kita bisa mendengarnya dua atau tiga
tahun lalu (kalau memang proses pengkajiannya dilakukan sejak lama)
Lalu, selama lima tahun pemerintahan Jokowi, nyaris saya tidak
pernah melihat DPR bersatu. Selalu terbelah antara partai Koalisi dan Oposisi.
Hanya ketika bahasan RUU KPK, DPR kompak!. Padahal rongrongan masyrakat begitu
besar. Tapi, tidak ada satu partaipun yang ambil sikap untuk tidak menyetujui
dan bergabung bersama tuntutan rakyat. Wajar jika masyrakat kemudian curiga
berat. Oh iya saya hampir lupa. Masyarakat selama limat tahun ini juga
terbelah. Antara yang setuju sama apa aja yang dilakuin Presiden dan yang selalu
nyinyir sama keputusan presiden. Baru
kali ini rakyat kompak untuk menentang kesewenangan DPR
Ada banyak sebetulnya yang ingin saya tulis tapi entah
kenapa saking banyaknya saya bingung buat mana dulu yang harus dijabarkan. Oke,
lanjut ya
Dikebut sudah, kompak juga iya dan tau-tau dengan
mengejutkan Presiden yang sejak awal komit untuk menguatkan KPK, justru
menyetujui RUU tersebut. Tidak ada basa-basi penundaan untuk RUU KPK dari
Presiden. Surpres dikeluarkan. Dan meledaklah masyarakat
Selain Supres, yang menjadi daya ledak masyarakat adalah
ditunjuknya pemimpin baru KPK yang kontroversial, diiringi dengan viralnya pasal-pasal yang dianggap lucu
dari RKUHP serta beberapa Revisi undang-undang lain yang akhirnya membuat
masyarakat semakin geram. Ko bisa setelah lima tahun gak akur, mereka akhirnya
bersekutu untuk mengambil langkah yang sama ‘Melemahkan KPK’ walau dalam narasi
mereka menyebut ‘Menguatkan KPK’
Publik berang, mereka bangkit melawan. Dimotori Mahasiswa
dari sekujur Indonesia, isu inipun viral dan membuat banyak orang yang bodo
amat dengan politik akhirnya mencari tahu. Poinnya adalah ‘viral’ hal ini yang
buat isu tersebut jadi bola salju yang semakin besar. Semua orang ingin
terlibat. Tidak ada batasan suku, agama, mahasiswa atau cebong atau kampret.
Semua berbaur menentang segala bentuk lawakan garing berupa RUU KPK
Fahri Hamzah dalam mata najwa mengiyakan pernyataan dirinya
sendiri kalau KPK tidak berfungsi sebagai mana mestinya. Hal itu ditentang oleh
Ketua BEM ITB (saya lupa namanya). Dia menjawab sembari menyelipkan kata-kata
yang kemudian memancing Fahri menjawab “nah ini yang salah, seolah-olah KPK itu
suci dan DPR itu brengsek semua” Saya jadi bingung, dia menentang narasi KPK
Dewa dan DPR setan sebagai sebuah kesesatan berpikir. Sementara Fahri Hamzah
selalu memaksan pemikirannya jika KPK gak becus dalam memberantas korupsi.
“buktinya korupsi masih ada” gitu kata dia. Eee mohon maaf pak maling ayam dari
jaman Soekarno sampai Jokowi juga masih ada. Kenapa bapak tidak bicara juga
soal pembubaran Polri?
Kita tinggalkan Fahri Hamzah yang lucu itu. Selanjutnya soal
dewan pengawas KPK. Dalam RUU yang baru akan dibentuk dewan pengawas KPK. KPK
nantinya akan diawasi entah oleh siapa mereka diawasi. Karena menurut perancang
RUU, KPK sudah kebablasan dan mesti ada dewan pengawas. kinerja KPK yang
menurut mereka bobrok itu mesti dipecut oleh dewan pengawas. Saya mau tanya,
selama ini yang mengawasi DPR itu siapa ya? ini murni pertanyaan karena ketidak
tahuan saya. Karena memang saya pikir DPR juga perlu ada pengawasan. Soal
kursi-kursi kosong dirapat-rapat penting. Ketuanya yang diciduk karena korupsi
sampai produk undang-undang yang gak nyampe-nyampe target. Kalau dibilang “kan
ada mahkamah kehormatan dewan” yaelah isinya juga orang-orang DPR toh sudah ada
Mahkamah Kehormatan dewan yang titip absen saat rapat juga banyak kan?
Tindakannya apa?
Hingga akhirnya saya kecewa berat sama Jokowi. Pertama dia
menandatangani Supres RUU KPK. itu bikin patah banget hati saya. Apalagi tanda
tangan itu kalau tidak salah dilakukan sebelum Presiden B. J Habibie Wafat.
Makin ambyar hati saya saat itu
Sekarang RUU sudah lanjut, Surpres sudah keluar dan
gelombang masa semakin berlipat. Viralnya aksi mahasiswa diseluruh Indonesia
saya pikir bikin tidur Jokowi gak tenang. Sampai akhirnya opsi Perppu
dimungkinkan dan proses dialog dengan demonstran dibuka. Ini juga mau saya
bahas dikit
Aksi besar ini tiba-tiba dicuitkan ditunggangi oleh sebagian
orang. Uniknya adalah dari dua kubu yang bersebrangan saat pemilu lalu saling
menuding satu sama lain. Yang satu menuding jika gelombang ini disponsori
mereka yang ingin menggulingkan pemerintah. Satunya lagi menuding jika
gelombang ini ditunggangi kelompol LGBT dengan segala agendanya. Itu yang
terjadi. Entah kenapa mereka selalu bertikai. Padahal saya cukup yakin
dirapat-rapat mahasiswa, dua hal tadi tidak jadi substansi diskusi. Mereka
hanya ingin RUU KPK dibatalkan. Itu saja. Selama itu tidak terwujud, maka aksi
akan terus berlanjut. Celakanya korban sudah semakin berjatuhan. Sampai tulisan
ini ditulis sudah tiga orang yang wafat. Semoga Allah ampuni dosa mereka
Kenapa mahasiswa rusuh? Dari pengalaman saya liputan waktu
kuliah. Orang yang didatangi untuk diteriaki aspirasi enggan buat ditemui.
Berjam-jam mahasiswa teriak diluar tanpa didengar. Akhirnya mereka memaksa
masuk karena memang itu tujuanya. Bertemulah dengan polisi, dorong-dorongan
terjadi dan rusuh tidak bisa dielakan. Siapa yang salah? tentu yang tidak mau
ditemui. Kalau mereka mau duduk bersama mendengar aspirasi, tidak akan ada
rusuh. Hal itu terjadi di Cirebon, dua kali aksi dua kali berakhir damai. Di
Cirebon DPRD dan Walikota menyetujui. Di Semarang Gubernur juga menyetujui. Ada
kerusuhan? tidak. Di beberapa tempat seperti Jakarta, Bandung sampai Kendari
hal itu tidak berlaku. Mereka yang didatangi tutup telinga. Bentrok meletus dan
korban berjatuhan.
Jika bahasan RUU ini semakin berlarut maka akan semakin
banyak kerusuhan yang akan kita dengar. Semakin banyak korban yang jatuh.
Imbasnya, opini publik akan bergeser. Dari yang pro pada aksi jadi bergeser dan
menduga-duga “jangan-jangan emang niatnya menggulingkan Jokowi” maka naiklah
tagar-tagar yang mengaminkan pernyataan tadi. Ini kan jadi bias akhirnya.
Mungin untuk pemerintah bisa jadi semakin berlarut dan semakin rusuh akan
menjadi keuntungan untuk semakin menggulirkan opini bahwa aksi ini ditunggangi.
Saya khawatir soal itu, karena bagaimanapun saat tulisan ini diketik sudah
banyak orang yang kemakan isu. Bergeser
dari pro jadi bertanya-tanya.
Saya harap ini tidak semakin berlarut. DPR dan Presiden
jangan lupa jika Musyawarah adalah bagian dari Pancasila yang nyaris tiap hari
didengungkan. Jika mahasiswa meminta untuk tidak bertemu di Istana, hemat saya hal
itu wajar saja. Kalau saat ini saja tudingan banyak menyudutkan mereka
ditunggangi. Dialog yang terbuka bisa jadi opsi. Jangan terlalu baper. Ini
proses demokrasi. Sederhananya Presiden mau apa tidak bicara terbuka didepan
publik soal RUU KPK. Bukan kah kita selama ini menunggu pernyataan langsung
presiden ketika berdialog?
Jika pada akhirnya RUU KPK tidak jadi. Gelombang ini
mestinya belum berhenti. Ada keraguan dihati banyak orang tentang pemimpin KPK
yang terpilih. Ini mungkin akan jadi babak baru episode #savekpk dan semoga
publik tidak buru-buru bosan karena mengawal proses ini memang akan berlarut.
Terakhir, tolong jangan berpikir macam-macam. Jangan mau
kekomapakan rakyat ini dibelah karena kepentingan golongan yang satu dan yang
lain. Kalau polisi menuding ada yang menunggangi aksi ini, silakan tangkap dan
buktikan. Berlaku adil juga karena yang demo didepan gedung KPK untuk mendukung
RUU jelas-jelas masa bayaran. Jelas-jelas ada oknum dibelakangnya. Usut juga,
tangkap juga. Ayo adil pak
Sudah cukup nyawa yang jatuh. Saat ini, yang diperlukan
adalah mendengarkan. Kita diberikan dua telinga supaya bisa mendengar dengan
jelas. Maka terima dan dengarkan aspirasinya. Mereka yang datang adalah
manusia. Mereka penghuni Indonesia. Kita menetap ditempat yang sama maka
keputusannya pun harus dari kata mufakat bukan muslihat
Semoga lekas sembuh Indonesia
Ditulis 26-27 September 2019
Komentar
Posting Komentar